Jakarta,TARUNA OFFICIAL
Aktivis antikorupsi, Ubedilah Badrun kembali menyoroti dugaan praktik korupsi yang melibatkan keluarga Presiden Joko Widodo.
Dalam wawancaranya di Kanal Youtube Forum Keadilan TV, Badrun mengungkapkan beberapa temuan yang mencurigakan terkait transaksi bisnis yang dilakukan oleh anak-anak Presiden, terutama Gibran Rakabuming dan Kaisang Pangarep.
Menurut Badrun, praktik tersebut tidak hanya melibatkan bisnis, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuasaan politik.
"Saya enggak peduli kalau dia (Gibran) bukan anak presiden, tapi kenapa dia bisa mendapatkan kucuran dana hampir 100 miliar," ujar Badrun, menanggapi besarnya dana yang diterima oleh Gibran dan Kaesang untuk membeli saham sebuah perusahaan besar.
Badrun menilai bahwa dana yang diterima oleh keluarga Presiden seharusnya digunakan untuk mengembangkan bisnis, tetapi malah digunakan untuk membeli saham yang mencurigakan.
"Setelah mereka mendapatkan dana ventura, mereka membeli saham senilai hampir 100 miliar. Itu kan sudah menyalahi tujuan dari dana ventura, yang seharusnya digunakan untuk pengembangan usaha, bukan untuk membeli saham," katanya.
Ia mengkritisi bagaimana hal ini terjadi setelah anak-anak Presiden menerima dana tersebut, yang menurutnya menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih lanjut, Badrun mengungkapkan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempermudah Gibran dalam memperoleh akses bisnis.
"Mengapa sampai keluar putusan MK 90 yang menguntungkan Gibran? Ada kepentingan apa di balik itu?" tanyanya.
Badrun menilai bahwa keputusan tersebut merupakan bagian dari praktik korupsi sistemik, yang memperlihatkan bahwa kekuasaan digunakan untuk memperkaya keluarga Presiden. Selain itu, Badrun mengkritik KPK yang dinilai tidak cukup responsif terhadap laporan dugaan korupsi ini.
"Kami datang ke KPK untuk menjadikan rilis OCCRP sebagai pintu masuk KPK untuk memanggil yang bersangkutan," ungkapnya.
Badrun merasa bahwa KPK tidak memanggil pihak-pihak yang terlibat, padahal sudah ada laporan yang mengarah pada dugaan korupsi.
Badrun juga menyebutkan adanya keputusan kebijakan yang berubah secara tiba-tiba, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang semula dijalin dengan Jepang, namun beralih ke China dengan biaya yang lebih mahal.
"Kenapa kita beralih dari Jepang ke China? Ada apa di balik itu?" tegas Badrun.
Ia menilai bahwa perubahan kebijakan yang tidak masuk akal itu mungkin ada kaitannya dengan praktik korupsi yang lebih besar.(Rel)
0 Komentar