Bentrok Warga Adat dan Pekerja PT TPL, 33 Orang Terluka

Petugas Satpam PT TPL mirip pasukan Dalmas Polri

Simalungun,TARUNA OFFICIAL

Sekitar 300 pekerja dan petugas keamanan  PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerang mereka saat di ladang berjarak 3 km dari bibir Danau Toba. Puluhan Masyarakat Adat Lamtoras alami luka-luka. 

Hingga Senin sore sudah 33 orang masyarakat adat Lamtoras terluka dan mendapat perawatan di rumah sakit. Sebagian menggunakan ramuan tradisional, mengobati luka-luka di bagian wajah mereka.

Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian AMAN Tano Batak, menilai aksi ratusan pria berseragam tersebut berkaitan dengan agenda perusahaan untuk melakukan penanaman atau pemanenan paksa di wilayah adat.

Sedangkan Delima Silalahi, aktivis dan peneliti masyarakat adat, menyebut, peristiwa terbaru yang menimpa Masyarakat Adat Sihaporas bukan sekadar konflik lahan. Tetapi potret nyata relasi timpang antara negara dan korporasi yang berkembang menjadi kekerasan sistemik.

Arga Ambarita, Sekretaris Lamtoras, menyebut, saat itu sekitar 15 petani dari Lamtoras tengah berkumpul di Buttu Pangaturan. Lalu, ratusan orang yang mengklaim sebagai keamanan TPL menghampiri mereka.

Warga pun menyapa sambil menanyakan tujuan kedatangan mereka. Rombongan itu tidak banyak bicara, hanya minta izin untuk lewat. 

Saat berbincang, terdengar suara komando dari belakang rombongan yang memerintahkan agar mendorong masyarakat dari lokasi itu. Aksi saling dorong pun tak terelakkan.

Situasi memanas. Satu warga adat pun jatuh dan terluka. Tak lama, beberapa masyarakat adat dari desa datang, dan menurunkan tensi yang sudah memanas itu. Namun, ratusan orang tak dikenal datang ke lokasi dan membantu rombongan pekerja TPL.

Pekerja TPL itu mengenakan seragam hitam-hitam dengan  membawa berbagai persenjataan, seperti parang, pisau bengkok, alat-stik setrum, batang kayu, helm berkaca penutup wajah dan tameng serta rotan dan sepatu lars. Mereka datang ke lokasi menggunakan delapan truk dan tiga mobil.

Massa suruhan TPL ini kemudian memukul mundur masyarakat yang mempertahankan wilayah adatnya. Masyarakat mencoba bertahan. Banyak yang jadi bulan-bulanan keamanan perusahaan, termasuk warga lanjut usia.

Hingga Senin Sore sudah 33 orang adat Lamtoras terluka dan mendapat perawatan di rumah sakit. Sebagian menggunakan ramuan tradisional, mengobati luka-luka di bagian wajah mereka.

“Kami pada saat itu hanya berjumlah tak sampai 50 orang mempertahankan tanah adat kami. Orang-orang tidak dikenal itu menyerang, dan banyak perempuan lanjut usia dan bapak-bapak tua yang mempertahankan tanah adanya yang jadi korban,” kata  Arga.

Karena kondisi tak seimbang dan jumlah korban yang banyak, puluhan Masyarakat Adat Lamtoras pun memutuskan menarik diri dan mundur ke perkampungan, sembari mengobati yang terluka kena pukul massa TPL. Warga pun trauma karena kesadisan yang mereka alami.

Warga pun tidak tahu nasib tanaman dan ladang mereka.


“Kami belum berani pergi ke ladang dan tempat perkumpulan. Asap hitam pekat sudah mengepul di udara dan ada tiga rumah warga dan satu rumah kumpulan kami sudah dibakar.Ada 10 sepeda motor dan satu pick up  mereka bakar. Kami semua masih bersiaga di kampung.”katanya lagi.

Menurutnya, ada 1.500 hektar wilayah adat yang TPL ambil paksa dan rusak, lalu mengubah tanaman pertanian mereka jadi eucalyptus. Saat ini, ada 150 hektar yang mereka tanami berbagai tanaman bernilai ekonomi tinggi. 

Sekitar 500 hektar lainnya masih lahan kosong dan sudah siap untuk jadi lahan pertanian.

“Mereka mau merampas tanah adat kami yang sudah ditanami tumbuhan. Kami harus melawan dan tak memperbolehkan mereka masuk ke ladang lalu merusaknya. Itulah mengapa bentrok ini terjadi.”ungkapnya lagi.

Berbagai kecaman atas kebrutalan orang-orang TPL ini mengundang kecaman masyarakat sipil. 

Jhontoni Tarihoran,selaku Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusnatara (AMAN) AMAN Tano Batak, menilai, aksi ratusan pria berseragam itu berkaitan dengan agenda perusahaan untuk melakukan penanaman atau pemanenan paksa di wilayah adat.

“Gaya mereka masuk itu bukan gaya dialog. Jumlah mereka terus bertambah. Menurut pengakuan warga, setelah gelombang pertama sekitar 150 orang, masih terus datang tambahan lainnya,” katanya kepada media.


Warga, katanya, sudah tinggal dan menjaga tanah adat sejak lama. Beberapa sudah membangun rumah di atas lahan itu sebagai simbol kedaulatan.

Tapi hari itu, oknum perusahaan membakar sebagian rumah dan sepeda motor mereka.

Menurutnys, kekerasan TPL bukan hal baru. Sejak lama Masyarakat Adat Sihaporas mengalami represi dan kriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya. Sudah puluhan tahun mereka berjuang, dan mendapat tekanan aparat dan perusahaan.

Sebagai lembaga pendamping masyarakat adat, AMAN dengan tegas akan membawa kasus ini ke jalur hukum.

“Kami akan konsultasikan ke kuasa hukum, dan kami anggap ini bukan sekadar konflik agraria, tapi sudah masuk unsur pidana kekerasan. Korban akan divisum. Beberapa sudah ada di rumah sakit, dan akan kita proses secara hukum.”katanya lagi.

Kekerasan yang masyarakat adat alami tidak hanya melukai fisik,  juga menghancurkan harapan mereka yang sedang memperjuangkan pengakuan.

Warga Sihaporas,lanjutnya, berulang kali mengikuti prosedur yang negara minta. Mereka punya dokumen sejarah, sertifikasi wilayah adat, tetapi tetap ilegal di mata perusahaan.

Situasi ini memperlihatkan ketimpangan struktural yang masih kuat dalam konflik agraria. Masyarakat adat yang  hidup turun-temurun di wilayahnya masih saja negara kriminalisasi dan pinggirkan, sementara korporasi mendapat ruang tanpa batas.

“Kami tak ingin konflik terus berulang. Jika negara terus diam, kejadian seperti ini bisa terus terulang, bahkan memakan korban jiwa.”

Sementara Angela Manihuruk, dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSSPM), mengecam sikap arogan perusahaan Sukanto Tanoto itu. 

Kejadian ini, katanya, menunjukkan banyak kasus pelanggaran HAM TPL pada masyarakat adat yang terus melindungi dan memulihkan wilayah penghidupan mereka.

Sudah saatnya pemerintah memberi perhatian serius untuk menutup perusahaan tersebut. Juga, memberikan perlindungan sosial bagi yang kena kriminalisasi.

Hentikan Pelanggaran HAM. Tutup TPL!”

Kutukan juga datang dari Nurleli Sihotang, Koordinator Divisi Bantuan Hukum BAKUMSU. Kejadian ini, sebutnya, bentuk kelalaian negara.

Negara juga abai memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat adat. Padahal, Pasal 18B ayat (2) konstitusi jelas menyebut, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya

“Bakumsu mendesak kepolisian memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap Masyarakat Adat, menindak tegas para pelaku kekerasan, serta menghentikan segala bentuk tindakan represif dan intimidasi,” serunya.

Sejarah Tanah yang Disengketakan

Lokasi sengketa merupakan tanah adat Sihaporas yang dulu Si Pukka Huta atau pendiri  kampung, Ompu Mamontang Laut Ambarita tempati sejak awal tahun 1800. Sekitar 1913, Belanda meminjam paksa tanah Sihaporas untuk mereka tanami pinus atau tusam.

Sebagai pengakuan atas tanah adat Sihaporas, tahun 1916 atau 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, penjajah yang meminta tanah menerbitkan peta enclave Sihaporas. 

Terdapat tiga nama kampung dalam hamparan lahan di peta tersebut, Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporoas dan Sihaporas Bolon.

Pasca Belanda angkat kaki, pemerintah Indonesia justru memberikan tanah adat Sihaporas ke dalam garapan konsesi PT Inti Indorayon Utama (sekarang TPL), tahun 1990. 

Masyarakat pun menuntut pengakuan dan pengembalian tanah adat Sihaporas kepada Pemkab Simalungun, tahun 1998.

Kemudian, DPRD Kabupaten Simalungun membentuk tim peneliti dan beberapa kali berkunjung ke Sihaporas, Mei-Agustus 2000. Dari situ, mereka keluarkan rekomendasi dan temuan. Intinya, benar ada tanda-tanda perkampungan tua berumur ratusan tahun di Sihaporas, berupa bekas kampung yang dikelilingi parit, bukti kuburan-kuburan nenek moyang warga dan makam.


Juga, bekas onan atau pasar, tempat perdagangan di masa lalu, bombongan bolon atau kolam besar komunal, tanaman seperti pohon besar dan rumpun pohon bambu yang berusia ratusan tahun.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pun menerbitkan peta Huta Sihaporas seluas 2050 hektar.

“Kami sudah ada sebelum negara ini terbentuk,” terang Mangitua Ambarita, Ketua Umum Masyarakat Adat Lamtoras.

Sayangnya, negara tidak berpihak pada mereka. Bukan hanya tidak memberikan pengakuan, negara, lewat aparat penegak hukum tidak merespon dengan cepat bahkan mengabaikan laporan dan aduan masyarakat adat.

Berbanding terbalik ketika TPL yang melakukan laporan. Penegak hukum langsung bergerak cepat menangkapi masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayatnya.

Bahkan, proses-proses penangkapan terhadap masyarakat adat terjadi secara tidak terpuji, seolah masyarakat adat teroris atau penjahat. Kriminalisasi pun kerap terjadi pada masyarakat adat.

Salah satunya Thomson Ambarita, Wakil Ketua Masyarakat Adat Sihaporas, yang mendapat vonis sembilan bulan penjara, tahun 2019. 

Rekannya, Jodi Ambarita, hingga kini masih menjalani hukuman akibat kasus serupa. 

Bahkan, September 2024, sejumlah warga kena culik saat malam hari dan masuk bui antara 8 bulan hingga 2 tahun penjara.

“Kami ini hanya rakyat kecil yang mempertahankan tanah adat. Tapi kami diperlakukan seperti penjahat. Bahkan ketika kami dilaporkan, polisi cepat bertindak. Tapi saat kami yang jadi korban, laporan kami sering kali tak ditanggapi,” ujar Thomson.

Delima Silalahi, aktivis dan peneliti masyarakat adat, menyebut, peristiwa terbaru yang menimpa Masyarakat Adat Sihaporas bukan sekadar konflik lahan. Tetapi potret nyata relasi timpang antara negara dan korporasi yang berkembang menjadi kekerasan sistemik.

“TPL semakin brutal, semakin tak punya rasa kemanusiaan. Saya marah, tapi rasanya seperti tak bisa berbuat apa-apa,” ucap peneliti di Toba Inisiatif itu.

Menurut dia, kekerasan fisik dan pembakaran rumah serta fasilitas warga oleh massa TPL bukan lagi tindakan insidental. Tapi, bagian dari pola yang berulang, mulai dari Nagasaribu, Natinggir, Dolok Parmonangan dan kini Sihaporas.

“Negara melihat, tahu dan tetap diam. Ini bukan lagi konflik agraria biasa, tapi sudah jadi pembiaran terstruktur.”

Akibatnya, terjadi konflik horizontal antara warga dengan warga, juga antara warga dengan buruh perusahaan. Kekacauan terus terjadi ketika negara tidak hadir jadi penengah.


Bentuk kekacauan juga terjadi dalam kasus Sorbatua Siallagan, Tokoh Adat Dolok Parmonangan yang meskipun bebas murni dari dakwaan pidana, tetapi tidak pernah mendapat pemulihan hak atas tanah adat yang mereka perjuangkan.

“Kemenangan hukum seperti itu tidak membuat negara membuka matanya, bahkan setelah Amang Sorbatua bebas, penanaman paksa terus dilakukan. Itu bukti bahwa perusahaan merasa kebal karena dilindungi.”tegasnya.

Pembiaran negara ini, katanya, akan memicu kemarahan lebih besar. Tidak menutup kemungkinan terjadinya gerakan massa sipil sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang terus berlangsung.

“Pemerintah harus jalankan fungsinya. Polisi jangan sepihak. Media juga jangan putarbalikkan fakta. Semua harus berpihak pada kemanusiaan, bukan hanya pada legalitas formal milik perusahaan.”pungkasnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga ikut mengecam karena terjadi pembiaran negara dalam kasus ini. 

Saurlin Siagian,selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, saat  dihubungi media menyayangkan tidak ada pengamanan memadai di lokasi sejak awal, sehingga bentrokan fisik tidak terhindarkan.

Dia pun sudah berkoordinasi dengan aparat kepolisian setempat setelah mendapat info insiden di Sihaporas.

“Saya langsung telepon kepolisian supaya memberi atensi, tapi informasi di lapangan menyebutkan tidak ada aparat yang berjaga. Maka terjadilah konflik terbuka antara warga dan pihak perusahaan.”

Menurut dia, kekerasan yang menimpa Masyarakat Adat Lamtoras bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Ini merupakan bentuk konflik yang terus-menerus muncul di lokasi-lokasi konsesi TPL di kawasan Danau Toba.

Komnas HAM, katanya, telah menyampaikan rekomendasi resmi sejak 2021 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar merevisi konsesi TPL. Namun tidak ada respons dari kementerian atas rekomendasi itu hingga saat ini.

“Kalau tidak ada revisi tata kelola konsesi, konflik akan terus terjadi. Setiap hari mungkin akan ada bentrokan baru, akan terus ada korban baru.”

Dia mendorong penyelesaian akar konflik agar keadilan mudah tercapai. “Di Pandumaan-Sipihuta, kasusnya juga meledak, tapi waktu itu negara bersikap bijak, konsesinya direvisi dan selesai. Itu contoh praktik baik. Kenapa tidak dilakukan di Sihaporas?”

Dengan tegas dia menolak anggapan bahwa masyarakat adat yang memulai konflik Masyarakat adat, katanya, selama ini hanya mempertahankan tanah warisan leluhur yang telah mereka huni turun-temurun.

Justru, korporasi skala besar yang melahap wilayah adat lah yang jadi pemantik utama konflik agraria. Apalagi, konflik berlangsung sejak dekade 1990-an dan belum juga ada penyelesaian tuntas.

“Kalau dihitung, sudah puluhan orang dari masyarakat adat masuk penjara. Sekarang pun masih ada yang dalam proses pengadilan. Apa mereka harus dihabisi semua? Negara harus bertindak!”

Dia pun berjanji  memantau dan  mendorong proses hukum yang adil dan transparan. Komnas HAM telah meminta kepolisian memproses dugaan kekerasan pada masyarakat adat dan menindak jika ada pidana.

Tanpa penanganan serius, konflik semacam ini menurutnya akan menyisakan trauma, dendam, dan kekerasan berulang. Untuk itu, pada pemerintah pusat, dia minta ada keberanian mengevaluasi dan merevisi seluruh perizinan yang bermasalah di wilayah adat.

“Kami minta dengan tegas, kementerian kehutanan harus turun tangan langsung. Verifikasi harus dilakukan segera. Hanya itu satu-satunya cara mencegah konflik berikutnya.”katanya lagi.

Diserang Warga

Sehari pasca konflik, TPL menggelar konferensi pers. Versi perusahaan, insiden terjadi saat saat rombongan pekerja dan petugas keamanan perusahaan menuju lokasi kegiatan panen. 

Mereka menyebut warga mengadang dan menyerang rombongan secara tiba-tiba.

Disebutkan, panen dan penanaman eukaliptus yang mereka jalankan di Sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, terganggu aksi anarkis. 

Rombongan orang tak dikenal membakar sejumlah kendaraan dan membuat lima orang luka-luka.

“Mereka melakukan pelemparan batu, memblokade jalan dengan kayu gelondongan, hingga membakar dua unit mobil operasional,” kata Salomo Sitohang, Corporate Communication Head TPL.

Dia mengklaim, perusahaan sudah sosialisasi kepada warga dan pemerintah sebelum memulai kegiatan lapangan. Operasional ini, mereka jalankan berdasarkan perizinan resmi, termasuk rencana kerja tahunan (RKT) dan rencana kerja umum (RKU). 

Meskipun, dia tidak menjawab pertanyaan tentang ihwal standar personel yang turun mengerjakan panen dan penanaman dalam satu blok.

“Semua kegiatan kami legal dan dilakukan sesuai izin PBPH (perizinan berusaha pemanfaatan hutan) dari kementerian. Kami juga terus membuka ruang kerja bagi warga dan menjalankan program community development,” katanya.

Dia  berdalih,  pelindung wajah, tameng, dan alat pengamanan lain yang sempat terekam video, merupakan kelengkapan standar pengamanan ketika menghadapi potensi gangguan atau massa yang masuk ke dalam areal konsesi. 

Dia juga membantah mempersiapkannya untuk bentrok.

“Itu aktivitas yang normal di TPL.”

Menurut peraturan perusahaan, sistem keamanan di areal konsesi bersifat permanen dan bukan khusus untuk menghadapi situasi tertentu. 

Setiap estate atau sektor konsesi memiliki tim pengamanan yang berjaga dan bertugas 24 jam penuh.

Juga keberadaan alat berat, truk dan mobil operasional dalam jumlah besar juga merupakan bagian dari rutinitas pekerjaan di sektor kehutanan industri, bukan bentuk persiapan menghadapi bentrokan.

“Ketika ada massa yang datang dalam jumlah besar, tentu kami akan memberikan atensi lebih melalui tim keamanan. Bukan karena ada niat konfrontatif, tapi karena itu kewajiban pengamanan aset dan personel,”tambahnya.(***)






















sumber Mongabay

Posting Komentar

0 Komentar