Jakarta,TARUNA OFFICIAL
Kasus dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China kembali menuai sorotan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa nama-nama yang disebut terlibat, termasuk Wali Kota Medan, Bobby Nasution, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
“Siapapun yang terlihat terlibat dalam praktik penyelundupan, baik kepala daerah maupun menteri, harus diproses sampai ke pengadilan,” ujar Fickar, Kamis (29/5/2025).
Desakan ini muncul usai ekonom senior almarhum Faisal Basri menyebut kedua nama itu dalam sebuah podcast. Ia juga mengungkap bahwa laporan terkait penyelundupan ini telah disampaikan kepada KPK dan dua menteri yakni Luhut Binsar Pandjaitan serta Bahlil Lahadalia.
Ungkapan Faisal Basri kala itu mengacu pada data dari International Trade Center (ITC) di bawah WTO, yang menunjukkan ekspor bijih nikel dari Indonesia ke China dalam periode 2020–2022, meskipun pemerintah telah resmi melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
Dengan perincian :
Tahun 2020: 3.999.000 ton
Tahun 2021: 839.000 ton
Tahun 2022: 1.087.000 ton
Sebaliknya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor nikel ke China sebesar nol karena tidak tercatat dalam sistem Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) milik Bea Cukai.
Sedangkan KPK dulunya sempat mengaku telah membentuk Satgas untuk mengusut kasus ini dan telah melakukan kajian sistem.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyebut bahwa pengiriman nikel ke China berasal dari perusahaan PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), pemegang izin tambang besi.
Dari 84 kali pengiriman besi, 63 di antaranya mengandung nikel di atas kadar 0,5 persen, sehingga tercatat sebagai ekspor nikel oleh otoritas China. Namun, karena izin ekspor hanya untuk besi, Indonesia tidak memungut royalti atas nikel tersebut.
“Kalau kirim besi ada nikelnya, kenakan royalti dua-duanya. Baru adil,” tegas Pahala.
Meski begitu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menilai tindakan itu tetap sebagai penggelapan.
“Tidak boleh ekspor besi yang isinya nikel. Itu penggelapan. Nilainya berbeda,” katanya, Jumat (15/9/2023) silam.
Faisal Basri juga sempat mengungkapkan, data intelijen KPK menyebut Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, pernah mengadukan Bobby Nasution, Airlangga Hartarto, dan seorang tentara berbintang dalam kasus ini.
Namun, hingga kini, proses hukum belum menunjukkan kemajuan berarti.
Di lain pihak,anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, bahkan menduga ada aktor besar yang membekingi kasus ini.
“Logis kalau persoalan ini berlangsung lama karena melibatkan ‘orang-orang besar’,” kata Deddy.
Video ungkapan Almarhum Faisal Basri tentang keterlibatan Airlangga Hartarto dan Bobby Nasution dalam penyelundupan biji Nikel ke China
Ia pun pesimistis kasus ini akan diusut hingga tuntas.
“Saya ragu kalau masalah ini bisa terang benderang dan menyentuh para backing yang melindungi praktik kotor itu,” tegasnya.
Konsekuensi Larangan Ekspor
Larangan ekspor bijih nikel sebenarnya sudah tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Pemerintah menetapkan kebijakan hilirisasi dan mewajibkan pemegang IUP melakukan pemurnian di dalam negeri.
Namun pada 2017, pemerintah justru memberi kelonggaran ekspor dengan sejumlah syarat.
Akibat relaksasi tersebut, nilai tambah dari bijih nikel Indonesia justru dinikmati China, yang mengimpor 98 persen ekspor bijih nikel dari Indonesia.
Investasi besar di sektor hilirisasi nikel pun terancam batal jika regulasi ekspor tidak diperketat.
Padahal, pemerintah mengklaim telah menerima komitmen investasi sebesar Rp280 triliun di sektor hilirisasi hingga 2024, serta potensi ekspor Rp426 triliun per tahun.
Sudah lazim berlaku di Indonesia bahwa pelaku usaha tambang nikel selama ini lebih memilih untuk menjual hasil produksi bijih nikelnya (nikel ore) ke luar negeri atau diekspor dibanding menjual ke dalam negeri.
Pasalnya harga jual bijih nikel ekspor lebih baik dibanding ke dalam negeri, sehingga hasil penjualannya bisa digunakan untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia, mengungkapkan,pada praktiknya ada ketidakadilan dalam bisnis nikel di tanah air.
Ketidakadilan pertama adalah kadar nikel yang mau diterima oleh pabrik domestik minimal 1,8%. Apabila dibawah kadar itu maka harganya akan terus berkurang.
Salah satu penyebab rendahnya harga bijih nikel yang dibeli adalah dalam mekanisme penentuan kadar nikel.
Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana).
Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.
Namun pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru menunjuk Intertek perusahaan diluar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel.
“Yang dipakai itu surveyornya Intertek. Itu yang gunakan pembeli (nikel ore),” kata Meidy dalam diskusi di kantor Asosiasi Pertambangan Nikel di Jakarta, Kamis (22/8) tahun lalu.
Hasilnya terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara hasil yang dilakukan oleh surveyor direkomendasikan pemerintah saat FOB dengan surveyor yang ditunjuk oleh pembeli bijih nikel pada saat CIF (ketika barang sampai di konsumen) berbeda sangat jauh.
“Sewaktu FOB ya 1,7% hasilnya, tapi saat disurvei lagi oleh Intertek menjadi 1,3% atau 1,5%. Ini kan jauh sekali bedanya, kalau nol koma sekian masih wajar,” kata Meidy.
Belum lagi dalam proses pembayarannya butuh waktu berbulan-bulan. Sementara jika diekspor para pelaku usaha bisa mendapatkan Letter of Credit (LoC), sehingga bisa kembali mendapatkan dana untuk investasi atau kegiatan operasional selanjutnya. “Proses pembayaran bisa lama antara 3-5 bulan,” kata Meidy.
Dengan mekanisme yang ada saat ini pelaku usaha tambang juga dikuasai empat perusahaan smelter raksasa yang melakukan kertel terhadap harga bijih nikel memanfaatkan penggunaan surveyor yang berbeda dari yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
“Jadi ada empat perusahaan besar, saya tidak mau sebut namanya tapi mereka yang kuasai harga, mengkertel,” kata Meidy.
Mekanisme ini juga menekan harga bijih nikel, rata-rata hanya dihargai US$11-US$20 per ton sementara jika diekspor bisa mencapai US$34 per ton saat FOB.
Selama ini ada empat besar yang memiliki smelter dengan kapasitas besar di Indonesia adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry, PT Sulawesi Mining Investment, PT Huadi Nickel Alloy, Harita Nickel.
Bisa dibayangkan keuntungan yang bisa digarap kelompok Airlangga Hartarto dan Bobby Nasution seandainya dugaan penyelundupan itu terbukti.Di saat ada larangan ekspor biji Nikel dari pemerintah malah diselundupkan ke China.(***)
Tim
0 Komentar