Majelis Ulama Indonesia (MUI) buka suara usai ditemukannya produk pangan dengan nama tuyul, tuak, beer, serta wine yang mendapat sertifikat halal BPJPH.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengatakan sejak kabar itu viral di media sosial, pihaknya langsung melakukan konfirmasi, klarifikasi dan pengecekan.
Dari hasil investigasi, ditemukan bahwa informasi yang beredar valid, produk-produk tersebut jelas terpampang dalam website BPJPH.
Dikatakan Niam, sejumlah produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, atau tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, serta tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut”, ujar Asrorun Niam dilansir dari laman resmi MUI Rabu, 2 Oktober 2024.
Selanjutnya, kata Niam, MUI bakal berkoordinasi dengan BPJPH, Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencari penyelesaian agar kasus serupa tidak kembali terulang.
“Saya akan komunikasi dengan teman-teman di Kemenag,” kata dia.
Setelah ramai menjadi sorotan, Nian mengatakan, kini nama-nama produk tersebut sudah tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.
Dia menekankan, seharusnya penetapan kehalalan produk harus sesuai dengan standar halal yang ditetapkan MUI dan sangat menyayangkan, penerbitan sertifikat halal produk-produk tersebut tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan.
Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
“Dalam pedoman standar halal MUI, tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosiasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan," pungkasnya.
Membingungkan Masyarakat
Sedangkan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama,Mamat Slamet Burhanuddin menjelaskan,persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya.
"Artinya masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.” kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin, di Jakarta, Selasa (1/10/2024).
“Yang kedua, penamaan produk halal sebetulnya sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.” sambungnya.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat.
“Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.
Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait penamaan produk. Hal ini dibuktikan dengan data kami di Sihalal. ” lanjutnya menjelaskan.
Contohnya, produk dengan nama menggunakan kata “wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
Contoh yang lain, produk dengan nama menggunakan kata “beer” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 8 produk. Dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain.” jelas Mamat.
Data tersebut, lanjutnya, mencerminkan fakta adanya perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Perbedaan itupun sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu saja, tetapi tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.
Kondisi ini, menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro, masih dalam ruang lingkup proses penyelenggaraan layanan sertifikasi halal yang berdasarkan perintah Undang-undang pelaksanaannya dilakukan oleh ekosistem layanan yang luas dan melibatkan banyak aktor.
“Untuk itu, BPJPH mengajak semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi dan menyamakan persepsi, agar tidak timbul kegaduhan di tengah masyarakat terkait nama-nama produk. Sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengonsumsi produk-produk bersertifikat halal karena telah terjamin kehalalannya.” tegas Dzikro.
BPJPH juga mengimbau dan mengingatkan kembali seluruh pihak tentang kewajiban sertifikasi halal tahap pertama yang akan berlaku setelah 17 Oktober 2024, khususnya untuk produk makanan dan minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan.
“Alangkah baiknya, saat ini energi seluruh stakeholder Jaminan Produk Halal bersama masyarakat dan pelaku usaha digunakan untuk menyukseskan kewajiban sertifikat halal yang sudah semakin dekat.” pungkasnya.
Tapi apapun ceritanya,dengan adanya label sertifikasi pada produk minuman beralkohol artinya melegalkan produk tersebut halal untuk diminum oleh umat Islam.(***)
Editor : Juliandar
0 Komentar