Jakarta,TARUNA OFFICIAL
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) menilai Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmen) yang menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut) cacat formil.
Sebab, kata JK, keempat pulau itu secara historis masuk wilayah Aceh jika merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumut.
“Jadi, kemarin juga saya berdiskusi dengan Mendagri, Pak Tito Karnavian mengenai hal ini. Wah, tentu karena ini didirikan dengan Undang-Undang, tidak mungkin (dipindahkan),” ujar JK saat diwawancarai di kediamannya, Jumat (13/6/2025).
“Itu tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen, karena Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepmen,” lanjutnya.
JK mengingatkan bahwa pemindahan empat pulau tersebut dari wilayah Aceh ke Sumut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada analisis jarak dan efektivitas.
Sebab, Kepmen yang diteken Tito itu jelas bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 1956 yang telah mengatur batas wilayah Aceh dengan daerah di sekitarnya.
“Kepmen tidak bisa mengubah Undang-Undang, ya kan. Walaupun undang-undangnya tidak menyebut pulau itu. Tapi secara historis,” kata JK.
“Iya. Sekali lagi, Anda benar (cacat formil), bahwa ini Aceh itu termasuk kabupaten-kabupatennya dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 1956,” ujar dia.
Dengan demikian, JK mengingatkan bahwa pemerintah harus juga merevisi UU Nomor 24 Tahun 1956 jika ingin memindah wilayah administrasi keempat pulau tersebut ke Sumut.
“Kalau mau mengubah itu dengan Undang-Undang juga. Bukan hanya karena analisis perbatasan. Selama ini orang di sana pulau itu bayar pajaknya ke Singkil. Nanti ada teman yang akan membawakan bukti pajak dia ke Singkil,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan karena diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Hal itu dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan tersebut direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
Harga Diri Rakyat Aceh
Penetapan empat pulau yang sebelumnya berada dalam wilayah administratif Aceh Singkil ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, terus menuai kritik tajam.
Anggota DPR RI hingga tokoh nasional seperti Jusuf Kalla mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem dari Dapil Aceh I, Muslim Ayub, secara tegas meminta Mendagri tidak menciptakan konflik baru di Aceh.
Ia menilai SK tersebut bisa memicu ketegangan antar wilayah dan melukai kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.
"Jangan buat persoalan baru di Aceh. Akan terjadi konflik kalau SK itu tidak segera dicabut. Aceh sudah banyak berkontribusi untuk Indonesia, jangan diganggu lagi," tegas Muslim, Jumat (13/6/2025).
Muslim menduga pemindahan wilayah empat pulau, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil, tidak terlepas dari adanya potensi besar sumber daya alam berupa gas dan minyak bumi.
"Itu kawasan kaya gas dan minyak bumi. Jumlahnya miliaran barel," ucapnya.
Muslim juga mengungkap bahwa Aceh memiliki bukti historis kuat bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh, termasuk dokumen dan kesepakatan antar gubernur tahun 1992 yang disaksikan langsung Mendagri kala itu.
Sedangkan JK menilai persoalan ini bukan semata urusan administrasi pemerintahan, tetapi menyangkut harga diri dan sejarah Aceh, terlebih Aceh merupakan daerah yang telah melalui proses damai pasca konflik.
"Bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Ini juga masalah kepercayaan ke pusat," kata JK di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
JK menegaskan, kesepakatan dalam MoU Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM jelas menyebut bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada peta tahun 1956.
Oleh sebab itu, penetapan ulang tanpa dasar hukum yang kuat berpotensi memicu kekecewaan masyarakat Aceh.
"Kalau rumah Anda tiba-tiba diklaim orang pagarnya, tentu marah. Begitu juga perasaan masyarakat Aceh," ungkap JK.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan pendekatan geografis semata tanpa mempertimbangkan aspek sejarah, hukum, dan sosial-politik.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bersikukuh bahwa keputusan memasukkan empat pulau ke wilayah Sumatera Utara dilakukan berdasarkan pembahasan panjang lintas instansi.
Namun ia mengakui batas wilayah laut antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah memang belum pernah disepakati secara final.
Meski demikian, gelombang protes terus mengalir.Pemerintah pusat didesak untuk membuka dokumen dan proses penetapan tersebut secara transparan, serta segera mengkaji ulang keputusan yang berpotensi merusak keharmonisan daerah.
Namun warga menilai Kepmen yang dikeluarkan Tito Karnavian merupakan akal-akalan kelompok tertentu untuk menguasai empat pulau milik Provinsi Aceh tersebut.(***)
rel
0 Komentar